TIDAK ADA GENERASI STROBERI
Berselisih paham dengan pendapat/hasil belajar orang lain itu melelahkan, tiada gunanya. Makannya cukupkan saja, tidak usah berdebat. Ambil pendapat masing-masing saja.
Seperti yang saya temui. Wali murid yang menganggap anaknya generasi stroberi, tampak indah di luar namun sejatinya kena pencet sedikit stroberi itu hancur. Wali murid itu tidak ingin anaknya dikerasi oleh gurunya. Padahal gurunya tidak mengerasi anaknya, tapi mengerasi teman-teman toxic anaknya. Salah paham.
Lalu sang guru membagikan artikel bahwa dalam Islam tidak ada konsep generasi stroberi. Apa komentar wali murid itu di grup? "Tentang generasi stroberi, sudah pernah saya sampaikan kepada buguru tempo hari."
Untuk apa saya panjang lebar menanggapi, kalau dia memang tidak mau menyadari kesalahannya dalam memahami, tidak mau mengakui bahwa generasi stroberi tidak ada dalam Islam. Saya cuekin saja hal tidak penting itu. Tidak sehat untuk pikiran dan hati saya bila mempermasalahkan hal tersebut terlalu dalam.
Begitulah, wali murid yang kurang pengertian kepada guru. Tidak boleh anaknya menerima ketegasan, walau si anak terbukti bersalah. Gurunya yang salah kalau terlalu tegas. Tidak boleh mengkondisikan kelas toxic dengan ketegasan.
Padahal ketegasan, ketertiban, kedisiplinan masih perlu diterapkan dengan konsisten kepada anak SMP. Untuk mempersiapkan diri mereka menghadapi masa depan. Masa yang akan datang mereka lebih kuat ujiannya.
Anak-anak manja dari rumah, tidak boleh ditegasi di sekolah, tapi si anak kerap berbuat salah. Sudah diingatkan bertahap, mulai dari yang halus sekali, barulah guru memilih tegas. Ternyata orangtua tidak terima. Gurunya yang salah. Orang tua tidak salah, karena sudah sibuk mencari uang untuk membayar sekolah.
Ya sudah. Kita sudah tau batas-batasnya. Guru jadi tau bagaimana bersikap pada anaknya. Batasan menyimpan dalam hati saja bila anaknya itu bersalah, males panjang lebar urusan tidak jelas dengan orang tua nya.
Alhamdulillaah 'ala kulli haal..

Komentar
Posting Komentar